Hari Toleransi Internasional diperingati pertama kali tanggal 16 November 1995, digagas oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya.
Sejak saat itu, Hari Toleransi Internasional dirayakan setiap tanggal 16 November. Tidak sekedar merayakan, semua anggota UNESCO, termasuk Indonesia, sepakat untuk melaksanakan Deklarasi Prinsip-prinsip tentang Toleransi.
United Nations Association-UK, Asosiasi PBB di Inggris, menyebutkan ada tiga cara untuk membangun rasa tolerensi di sebuah negara. Berikut penjelasannya.
- Pendidikan
Ada ungkapan yang mengatakan “Tak Kenal Maka Tak Sayang”. Salah satu penyebab munculnya konflik akibat perbedaan suku, agama, pandangan politik dan perbedaan lainnya adalah karena tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai perbedaan itu. Informasi yang benar bisa diperoleh melalui pendidikan, mulai dari rumah, lingkungan, sekolah, televisi, dunia maya dan sarana komunikasi lain.
Orang tua, diharapkan dapat memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak mengenai perbedaan, bahwa tidak ada manusia yang diciptakan sama. Orang tua, perlu membawa anak-anak untuk melihat orang lain yang berbeda dengan mereka, mulai dari warna kulit, adat istiadat, kebiasaan, gaya berpakaian, cara beribadah dan perbedaan lain.
Pendidikan toleransi juga sangat perlu diberikan di sekolah karena pada umumnya murid akan sangat menghargai pendidikan yang diperoleh dari guru. Para guru juga harus mencotohkan sikap toleransi, tidak hanya secara teori. Misalnya, di sekolah negeri, digilir pembaca doa dari semua agama yang diakui di Indonesia, gotong-royong dan saling membantu saat perayaan hari besar agama tertentu, serta kegiatan lain.
2. Regulasi dan Penegakan Hukum
Pendidikan diharapkan dapat menumbuhkan rasa dan sikap toleransi dalam masyarakat di sebuah negara sejak dini. Namun, namanya di dunia tetap saja ada orang yang tidak bisa mempraktekkan nilai-nilai kebaikan di dalam masyarakat, sehingga perlu adanya regulasi yang mengatur hubungan antar-masyarakat di sebuah negara.
Regulasi harus diikuti dengan penegakan hukum untuk menindak tegas perbuatan intoleransi, seperti ujaran kebencian, diskriminasi SARA hingga tindakan kekerasan dan intiminasi dari kelompok tertentu yang mengatas namakan SARA. Penegakan hukum dibutuhkan untuk menjamin hak-hak para korban intoleransi. Di sisi memberikan pendidikan dan efek jera bagi para pelaku intoleransi.
3. Menghentikan Streotip Negatif Terhadap Orang Lain
Stereotip Negatif Orang terhadap individu atau kelompok tertentu harus dihentikan. Stereotip negatif sama dengan persepsi negatif, label negatif atau berprasangka buruk. Biasanya terjadi secara turun-temurun. Misalnya, streotip terhadap satu suku yang dianggap bodoh dan bebal. Padahal, sebenarnya hal itu tidak benar. Bisa saja strereotip itu awalnya muncul karena ada pertikaian antara dua orang yang berbeda suku, sehingga yang satu mempolitisasi agar mendapatkan dukungan dari orang-orang di satu sukunya.
Jadi, individu atau kelompok sering memberikan stereotip negatif didorong untuk berhenti karena prasangka negatif dengan cara generalisasi menimbulkan ketidaknyamanan di dalam masyarakat. Orang yang mendapatkan stereotip negatif akan merasa terganggu dan tidak jarang sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan dikucilkan. Jadi, mulailah menilai orang berdasarkan karyanya dan individunya masing-masing. Jangan langsung percaya dengan rumor apalagi menjadi penyebar atau provokator untuk memberikan label negatif kepada orang lain. *