Skip to content

Ini 5 Pertanyaan yang Paling Sering Diajukan Soal Utang Pemerintah

Kamu pasti pernah mendengar dan membaca perdebatan mengenai utang Pemerintah di televisi, radio atau media sosial. Mengapa sebuah negara harus menarik utang apalagi dari luar negeri? Apakah tidak cukup uang dari pajak atau pendapatan negara dari sumber-sumber di dalam negeri? Apa betul utang itu digunakan untuk memajukan rakyat, jangan-jangan malah dikorupsikan?

Selain membaca dan mendengarkan perdebatan soal pinjaman Pemerintah, mungkin saja kamu sendiri memiliki pertanyaan sama seperti yang banyak di lontarkan masyarakat, terutama oleh netizen di media sosial. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Kementerian Keuangan, ini lima pertanyaan yang paling banyak diajukan soal utang Pemerintah, serta jawabannya.

  1. Apakah tidak berbahaya bagi keuangan negara, jika menarik utang terus menerus?

Jika kamu ingin meminjam uang ke bank, biasanya diberikan batas penarikan uang maksimal 30 persen dari total penghasilan kamu. Misalnya, kalau penghasilan kamu Rp1 juta sebulan, maka uang yang bisa kamu pinjam maksimal adalah Rp300 ribu. Nah, jumlah ini dianggap aman dan kamu dipercaya akan dapat melunasi utangmu.

Demikian juga sebuah negara. Untuk negara syaratnya berbeda. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Total uang Pemerintah maksimal 60 persen dari PDB alias Produk Domestik Bruto. PDB ini adalah penghasilan dari seluruh kegiatan ekonomi di Indonesia, mulai dari abang tukang bakso sampai perusahaan pertambangan raksasa, semuanya dihitung dengan metode khusus.

Jadi, untuk Indonesia, perbandingan alias rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30 persen. Jadi, masih dinilai sangat mampu membayar. Makanya, baik perbankan dan pemerintah negara lain masih bersedia mencairkan utang ke Indonesia. Angka ini, juga masih di bawah negara-negara tetangga lain, seperti Thailand 41%, Vietnam 61%, Filipina 42% dan Malaysia 50%. Kalau negara maju jangan dibandingkan deh, karena mereka berani menarik utang besar-besaran, seperti Jepang 239%, AS 107%, Inggris 87% terhadap PDB.

2. Benarkah berutang untuk memajukan Indonesia, jangan-jangan dikorupsikan?

Pemerintah tidak dapat menunda kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Sebab jika ditunda, maka di masa depan seiring dengan kenaikan harga maka, biaya untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut aka semakin tinggi. Jadi Pemerintah tetap harus membayar biaya-biaya kebutuhan tersebut walau pendapatan negara terbatas. Utang menjadi alat untuk membayar kekurangan biaya-biaya tersebut. Jika nanti infrastruktur telah memadai dan sumber daya manusia (SDM) telah cukup berkualitas, maka Indonesia akan dapat bersaing dengan Negara tetanga bahkan dengan dunia.

Dalam mengelola utang dan semua anggaran, Pemerintah memiliki pengawas internal, yaitu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta DPR, juga lembaga hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK. Kamu juga bisa ikut mengawasi di lingkunganmu, misalnya dana BOS di sekolah atau bisa mengajukan keberatan kepada Pemerintah Daerah jika menemukan jalan-jalan yang masih rusak dan berlubang.

3. Apakah Negara akan terus mensubsidi BPJS? Apakah dana subsidi berasal dari utang?

Subsidi meningkat untuk menjaga daya beli masyarakat. Defisit BPJS bukan diambil dari dana subsidi. Pemerintah harus memasikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan. Jangan sampai BPJS Kesehatan ditutup. Biar kalau rakyat sakit, terutama yang tidak mampu, jangan lagi semakin parah karena stress memikirkan biaya, atau harus menjual tanah, rumah, sapi dan lain-lain, seperti sebelum ada BPJS Kesehatan.

Penyuntikan dana APBN kepada BPJS bukan dalam pos anggaran subsidi, melainkan berasal dari dana cadangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jumlahnya tidak sedikit, tahun 2015 senilai Rp5 triliun. Tahun 2016 senilai Rp6,8 triliun. Tahun 2017 senilai Rp3,6 triliun tan tahun 2018 senilai Rp10,25 triliun (2018).

4. Benarkah utang digunakan untuk membiayai impor bahan pangan yang merugikan rakyat?

Tidak. Utang Pemerintah digunakan membiayai defisit APBN dan kegiatan atau proyek yang langsung dibiayai dari. Untuk membiayai defisit APBN, utang Pemerintah diarahkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, bukan untuk membiayai impor bahan pangan.

5. Apa saja contoh proyek yang berguna untuk masyarakat yang dibiayai dari utang?

Ada banyak proyek infrastruktur raksasa yang dibangun dari uang. Semua proyek ini langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Pembangunan tidak hanya berpusat di Jakarta dan kota-kota besar, tetapi juga di daerah. Ini dua di antaranya:

  • Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta

Pembangunan MRT Jakarta yang sekarang sudah beroperasi, dibiayai dari utang luar negeri dari Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency atau  (JICA) utang senilai Rp25 triliun.

MTR sudah digunakan mengangkut sekitar 412 ribu penumpang per hari. Bayangkan, sebelum ada MRT warga Jakarta dan sekitar harus berdesak-desakan di dalam bis kota dan kereta dengan kondisi yang tidak nyaman, jika ingin bekerja atau melakukan kegiatan lain.

Waktu tempuh jarak terjauh, yaitu Lebak Bulus – Bundara HI turun menjadi 30 menit tanpa ada kemacetan. Selain itu, penggunaan MRT mengurangi 0,7% total emisi CO2 di Indonesia atau turun sekiutar 93.663 ton per tahun.

  • Waduk Jatigede, di Sumedang, Jawa Barat

Di Sumedang, Jawa Barat, dibangun Waduk Jatigeda dengan pinjaman luar negeri dari China USD332,6 juta sekitar Rp5 triliun. Waduk ini akan menyimpan cadangan air sebanyak 1,7 miliar meter kubik volume per tahun. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan jaringan irigasi pertanian seluas 90.000 hektare. Mengamankan seluas 14.000 ha lahan dari ancaman banjir dan memproduksi listrik sebesar 110 Mega Watt. *