Tahukah kamu bahwa perkawinan Anak masuk kategori kasus luar biasa atau extraordinary? United Nations Population Fund (UNFPA) memprediksi akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak dalam rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi Covid-19.
Bahkan, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BOS) tahun 2018 menunjukkan 1 dari 9 anak, kawin pada usia muda alias di bawah 17 tahun. Alasan perwakinan usia muda beragam, mulai dari ekonomi, dipengaruhi pergaulan dan ada juga karena tradisi adat istiadat.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan organisasi perempuan dari seluruh Indonesia menginisiasi program pendidikan kesadaran hukum menangani kasus perkawinan anak kepada para aktivis dan orang tua.
Namun, tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan pemahaman pada anak dan remaja, yang menjadi target dari gerakan. Berikut sejumlah risiko menikah usia muda yang wajib kamu ketahui.
- Melanggar Hukum.
Larangan pernikahan usia muda sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengubah batas usia perkawinan menjadi 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. UU ini diharapkan efektif menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia.
2. Risiko Kesehatan
Pernikahan di bawah umur menimbulkan berbagai risiko kesehatan. Bagi wanita, organ tubuh dan sistem reproduksi belum matang sepenuhnya, sehingga janin tidak bisa berkembang dengan maksimal. Kondisi ini menyebabkan risiko keguguran tinggi dan bayi berisiko prematur. Hamil muda berisiko meningkatkan tekanan darah, protein dalam urine naik serta kerusakan organ tubuh, disusul dengan eclampsia, serta terkena anemia.
3. Risiko Psikologis
Secara psikologis, mental pasangan muda belum sepenuhnya dewasa, sehingga berpotensi sering terjadi pertengkaran dan kekerasan rumah tangga. Pernikahan dini membuat kesehatan psikis pasangan terganggu. Keadaan ini juga bisa berdampak pada anak-anak dan mengalami masalah psikologis, seperti depresi, trauma dan gangguan kecemasan
Secara psikologi, perkawinan di bawah umut bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri, serta emosi yang tidak berkembang secara matang. Akibatnya, kepribadiannya lebih tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri.
4. Kehilangan kesempatan
Selain itu, perkawinan usia anak dan remaja rawan mengalami gangguan mental pasca melahirkan dan punya anak. Bisa terjadi perubahan perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental dan belum siap menerima tanggung jawab. Semua kondisi ini bisa mengurangi semangat wanita untuk melanjutkan pendidikan dan memulai karirnya. Sehingga, harus kehilangan kesempatan untuk mencapai cita-citanya.
5. Melompati Fase Hidup Remaja
Menikah di usia muda apalai di bawah 17 tahun akan membuat kamu melompati fase hidup masa remaja. Artinya, masa remaja yang seharusnya kamu nikmati dengan bermain, belajar dan bergaul hilang. Namun, karena sudah menikah, kamu harus mengerjakan pekerjaan seorang istri dan jika sudah memiliki anak, kamu harus mengurus anak-anak. Padahal, sebenarnya, kamu bisa menjalani sebagai istri dan ibu pada usia yang lebih dewasa karena semua ada masa dan siklusnya.
6. Masih Mencari Jati Diri
Usia remaja adalah masa dimana kamu masih mencari jati diri dan ingin tahu, serta masih mencari eksistensi diri. Semua rasa ingin tahu dan pengakuan ini harus dipenuhi dan diarahkan ke kegiatan positif, sehingga tidak ada masa-masa yang hilang.
Secara rata-rata remaja biasanya masih belum stabil dari sisi emosi karena merupakan masa transisi antara fase anak-anak menjadi remaja menjelang dewasa, yaitu usia sekitar 11 tahun hingga 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda. Dari sisi komunitas sosial, remaja juga belum stabil karena jika ikut komunitas anak-anak, maka dia dianggap terlalu tua. Jika ikut komuitas dewasa diprotes juga karena terlalu muda. *