Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), bertahan sebagai pencetak rekor pengangguran terbanyak di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Penyebabnya tidak dapat memenuhi syarat kompetensi di pasar tenaga kerja. Sebagai solusinya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, meminta SMK meggelar nikah massal dengan dunia usaha dan industri (DUDI).
Angka pengangguran di Indonesia mencapai 5,01% dari total angkatan kerja per Februari 2020, berkurang dari 4,99% pada periode yang sama tahun 2019. Dalam satu tahun terakhir, pengangguran bertambah sekitar 60.000 orang. Dengan kata lain, dari 100 orang angkatan kerja, ada sekitar 5 orang menganggur.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan SMK sudah beberapa tahun terakhir menjadi pencetak pengangguran tertinggi dari semua tingkat pendidikan di Indonesia. Angka pengangguran dari lulusan SMK mencapai 8,49%. Dari universitas sebanyak 5,73%, dari Diploma I/II/III sebanyak 6,76%, SMA sebanyak 6,77%, SMP 5,02% dan SD ke bawah 2,64% dari total lulusan.
Ada beberapa penyebab utama banyaknya lulusan SMK yang tidak diserap oleh dunia usaha dan industri, antara lain kurikulum yang diajarkan sudah tidak relevan dengan DUDI, serta kurangnya kesiapan mental siswa masuk dunia kerja.
Untuk mengatasinya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, meminta pengajar dan pengelola seluruh SMK di Indonesia mempersiapkan diri untuk segera melakukan “pernikahan massal” dengan DUDI.
Analogi pernikahan massal sebagai gambaran bahwa SMK dan DUDI harus memiliki ikatan kuat, hubungan emosi, budaya kerja, pola pikir dan ada keharmonisan yang diikat secara permanen, layaknya sepasang suami istri. Anak-anak yang dilahirkan adalah para lulusan SMK.
Dia mengatakan pernikahan massal (link and match) antara pendidikan vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja (DUDI) harus dilakukan karena pada kenyataannya saat ini, hubungan sektor pendidikan dengan industri tidak terjalin secara maksimal.
“Pernikahan massal ini bukan sekadar perjanjian kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU), melainkan harus menjadi pernikahan atau kerja sama yang sangat erat dan mendalam, serta berlanjut, bahkan sampai punya anak-anak (lulusan) yang diasuh bersama,” jelas Nadiem, dalam Gelar Lokakarya Peningkatan Kualitas Kepemimpinan Kepala SMK Seluruh Indonesia yang digelar Kemendikbud, secara daring, Senin (29/6/2020).
Sembilan Langkah
Sementara itu, sebagai langkah konkrit untuk mewujudkan pernikahan massal antara SMK dan DUDI, Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), telah menetapkan sembilan langkah untuk jalankan.
Pertama, kurikulum disusun bersama industri, sehingga materi pelatihan dan sertifikasi di industri secara resmi dimasukkan dalam kurikulum di sekolah. Kedua, guru tamu dari industri rutin mengajar di SMK.
Ketiga, program magang ditetapkan secara terstruktur dan dikelola bersama dengan baik. Keempat, pihak industri berkomitmen kuat dan resmi menyerap lulusan. Kelima, ada program beasiswa dan ikatan dinas bagi siswa.
Keenam, dibentuk jembatan program, yaitu pihak industri memperkenalkan teknologi dan proses kerja yang diperlukan kepada para guru, sertifikasi kompetensi bagi lulusan diberikan oleh pihak industri.
Ketujuh, sertifikasi kompetensi bagi lulusan diberikan oleh sekolah bersama industri. Kedelapan, dilakukan riset bersama, yaitu riset terapan dengan guru yang berasal dari kasus nyata di industri. Kesembilan Kesembilan, berbagai kegiatan atau program “pernikahan” lain.
Sementara itu, Kepala sekolah diminta bekerja seperti CEO di perusahaan, bisa mencari dan mengembangkan peluang kerja sama dengan industri dan dunia kerja. Guru-guru dan instruktur harus mau berlatih dan terus meningkatkan kompetensi, sehingga bisa mengikuti perubahan zaman.
“Harapan saya, Pendidikan Vokasi Indonesia menjadi semakin mumpuni, semakin kuat dan akan menghasilkan talenta-talenta Indonesia yang berdaya saing dan berkualitas tinggi, menjadi daya dorong kemajuan bangsa, menguatkan Indonesia,” ujar Mendikbud
Dalam acara yang sama, Dirjen Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto mengatakan pernikahan massal ini akan menguntungkan banyak pihak. Pihak industri dan dunia kerja akan mendapatkan tenaga yang kompeten, siap pakai, tidak hanya mengandalkan ijazah.
Dia mengatakan akibat tidak kompeten, saat ini sering kali pelaku industri terpaksa melakukan pelatihan bagi lulusan SMK, sebelum mulai bekerja. Pelatihan ini, membutuhkan biaya dan waktu, padahal sebenarnya jika dipersiapkan dari bangku sekolah, proses pelatihan ini tidak perlu lagi dilakukan.
“Jangan sampai, sudah lulus kuliah, masih harus training lagi oleh industri dengan susah payah, memakan banyak waktu dan berbiaya mahal,” terang Wikan Sakarinto. *