Skip to content

Fakta-Fakta 3 Suku Primitif yang Ada di Indonesia

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, bahwa di Indonesia mempunyai 1.340 suku bangsa. Namun dari banyaknya suku tersebut masih terdapat beberapa suku primitif yang ada di Indonesia yang belum terbuka dengan dunia luar, bahkan ada suku yang tidak mengenal pakaian maupun hari.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, primitif memiliki dua pengertian. Pertama, primitif ialah suatu keadaan yang sangat sederhana, belum maju (terkait peradaban, dan terbelakang). Kedua, primitif ialah suatu kaeadaan yang sederhana, kuno, tidak modern (tentang peralatan).

Secara umum, primitif merupakan suatu kebudayaan masyarakat atau individu tertentu yang belum mengenali dunia luar atau yang jauh dari keramaian teknologi. Kata primitif disini kebanyakan digunakan untuk suatu kebudayaan atau masyarakat yang hidupnya masih tergantung dengan alam atau tidak mengenal dunia luar.

Sedangkan menurut buku “ The Primitive World and Its Transformations” yang ditulis Redfielf menjelaskan, bahwa primitif ialah masyarakat yang dicirikan buta tulis, perkembangan pengetahuan dan teknologinya rendah, sehingga tingkat produksinya rendah pula.

Sementara itu, ada beberapa ciri-ciri masyarakat primitif yang bisa EDOOers kenali, di antaranya seperti suatu suku hidupnya bergantung kepada alam meski dunia luar sudah mengalami modernisasi, hubungan dengan dunia luar yang sangat terbatas, profesi masyarakat primitif yaitu menajdi pemburu, penangkap ikan dan pengumpul bahan makanan, serta sering mensakralkan objek-objek tertentu yang merupakan peninggalan nenek moyang.

3 Suku Primitif di Indonesia

Berikut ini adalah 3 suku primitif yang ada di Indonesia dan masih survive dalam menjaga tradisinya masing-masing di pedalaman serta jauh dari kehidupan modern.

  1. Suku Polahi

Suku Polahi ialah kelompok etnis terasing yang mendiami pedalaman hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman, dan Suwawa, Provinsi Gorontalo. Istilah “Polahi” sendiri mempunyai arti pelarian, suku ini mengasingkan diri sekitar abad ke-17 ketika Belanda menjajah Nusantara. Sampai saat ini pun, mereka menganggap orang luar adalah penjajah.

Suku Polahi kini hidup dalam keterasingan selama berada di pedalaman hutan, sehingga membuat orang Polahi tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan, agama, maupun perkembangan teknologi. Keturunan dari suku Polahi menjadi masyarakat yang sangat termarjinalkan dan tidak mengenal akan tata sosial pada umumnya.

Bahkan, suku Polahi iniu juga tidak mengenal ilmu baca tulis dan masih menganut suatu kepercayaan lokal. Suku ini dianggap lebih primitif dari suku asli lain di Indonesia, karena masyarakat Suku Polahi memang lebih jauh tertinggal dan diketahui belum mengenal pakaian, agama, dan hari.

Suku ini hidup secara berpindah-pindah (nomaden) dari satu hutan ke hutan yang lain dengan cara berkelompok. Namun, keberadaan suku Polahi ini juga terancam punah, karena makin banyaknya penebangan hutan secara liar.

Sejak dulu orang-orang suku Polahi tidak mengenal pakaian, mereka cuma menggunakan semacam cawat yang terbuat dari kulit kayu atau dari daun woka untuk menutupi kemaluan mereka. Sementara itu, pada bagian dada dibiarkan terbuka, termasuk para wanitanya. Namun, sekarang mereka sudah mulai menggunakan pakaian layaknya warga lokal pada umumnya.

Ada satu kebiasaan primitif dari suku ini yang dianggap tabu, tetapi masih dipertahankan hingga kini yaitu perkawinan sedarah atau inses. Bagi suku Polahi perkawinan dengan sesama saudara kandung ialah cara mempertahankan keturunan suku mereka, meski hal tersebut dilarang.

2. Suku Laut

Sesuai dengan namanya, suku Laut ialah suku yang tinggal secara nomaden atau berpindah-pindah di area Kepulauan Riau. Dahulu kala, suku ini terkenal sebagai kelompok perompak yang mempunyai peran penting dalam kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Johor, dan Kesultanan Malaka.

Suku ini memiliki peran dalam menjaga stabilitas kawasan dagang disana dengan mengusir para bajak laut dan memandu para pedagang. Menurut beberapa sumber mengatakan keberadaan suku Laut sudah ada antara tahun 500-800 M. Mereka sudah mengenal perdagangan maritim dengan menjual tripang, mutiara, kerang, ikan, sagu, dan kulit kayu bakau kepada para pedagang asing.

3. Suku Anak Dalam (Kubu)

Suku primitif yang ada di Indonesia ketiga adalah suku Kubu atau biasa disebut suku Anak Dalam. Suku ini merupakan satu suku minoritas yang bermukin di wilayah pedalaman hutan di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatra Selatan.

Menurut tradisi lisan, suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat yang lari menuju hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka yang kemudian disebut Moyang Segayo.

Tradisi lain mengatakan, orang-orang suku Anak Dalam berasal dari Paguruyuang, yang mengungsi ke Jambi. Hal tersebut diperkuat dengan fakta, bahwa adat suku Anak Dalam memiliki kesamaan bahasa dengan Suku Minangkabau.

Sedangkan, pola hidup dari Orang Rimba ini adalah hidup secara nomaden atau berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lainnya. Selain itu, apabila ada salah seorang anggota keluarga dari suku Anak Dalam yang meninggal, maka suku ini akan berpindah ke tempat yang baru.

Sementara itu, cara mereka memenuhi kebutuhan makanan dengan berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuan makanan, Namun, sebagian dari orang suku Anak Dalam sekarang, sudah ada yang mempunyai lahan karet dan lahan pertanian.

Walaupun belum punah, akan tetapi kondisi dari suku Anak Dalam sangat memprihatinkan dan terancam punah. Sebab semakin sedikitnya wilayah hutan untuk mereka jelajahi, karena banyaknya penebangan hutan yang terjadi di Jambi maupun Sumatra Selatan.

Penyebab lainnya juga adalah sesudah Taman Nasional Bukit Duabelas diresmikan, orang-orang suku Anak Dalam kehilangan haknya dalam mengelola hutan. Bahkan, pencemaran air sungai juga turut memperburuk kehidupan mereka, karena suku ini sangat bergantung dengan air sungai sebagai sumber air.

Itulah tadi tiga suku primitif yang ada di Indonesia yang menarik untuk EDOOers ketahui. Semua suku di atas masih mampu mempertahankan tradisi masing-masing ditengah gempuran modernitas yang terjadi di Indonesia. Salam Literasi Untuk Edukasi!