Skip to content

Kisah Aisyah: Pejuang Cerebral Palsy yang Bisa Lulus Kuliah dan Jadi Penulis

Aisyah Cahyu Chintya atau biasa akrab disapa Icha merupakan salah satu pejuang cerebral palsy yang mampu membuktikkan dirinya bisa lulus kuliah. Bahkan, hebatnya lagi ia juga berhasil menjadi seorang penulis.

Cerebral palsy merupakan lumpuh otak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak pada anak. Bahkan, cerebral palsy ini juga menyebabkan tidak mampu berjalan dengan baik, postur tubuh tidak normal, mata juling, dan juga menyebabkan gangguan kecerdasan.

Icha merupakan anak dari pasangan Yoyok (Ayah) dan Tuti (Ibu). Menurut kedua orang tuanya, saat lahir Icha tidak menangis dan memiliki warna kulit kuning, sehingga membuat suster langsung menempatkannya di dalam inkubator.

Kendati wawasan pengetahuan mengenai Cerebral Palsy yang masihkurang, orang tua Icha terus berusaha mengobati kondisi Icha agar lebih baik melalui pengobatan medis sampai pengobatan
alternatif. Berbagai terapi pun ditempuh Icha, mulai dari terapi fisik hingga terapi wicara.

Meskipun, Icha hidup dengan keterbatasan tidak membuat semangatnya juga ikut padam. Icha
mempunyai segudang mimpi, salah satunya ialah ia berusaha membangun kesadaran akan penyakit Cerebral Palsy ini kepada masyarakat luas.

Icha juga ingin bisa terus menerus mengedukasi masyarakat luas untuk lebih paham dan sadar dengan kondisi penyakit cerebral palsy, sehingga para penyandang cerebral palsy dapat terbebas dari diskriminasi sosial.

Tidak berhenti cuma sampai disitu saja, Icha terus ingin memperjuangkan mimpinya untuk memotivasi saudara-saudaranya sesama pejuang cerebral palsy untuk terus berkarya. Hal tersebut, akhirnya dibuktikkan Icha dengan prestasinya yang berhasil menerbitkan buku
bertajuk “Say Hello to My World” pada tahun 2022 lalu.

Diagnosis Awal

Menurut cerita dari Icha, saat masih berusia satu tahun, ia dibawa orang tuanya ke dokter spesialis tumbuh kembang anak. Kala itu, Icha didiagnosis mengidap cerebral palsy yang diakibatkan oleh kerusakan otak, sehingga terganggu motoriknya.

Sejak saat itu sampai Icha berusia 13 tahun, ia selalu rutin menjalani berbagai macam terapi. Mulai dari okupasi terapi, fisioterapi, hidroterapi, terapi wicara, dan lain sebagainya. Ketika sedang terapi, Icha pernah diiket-iket memakai stefin (pakai) sejenis korset khusus perut tapi untuk tangan. Selanjutnya, tangan diminta berdiri, terus tangannya pun digantung dengan memakai solasi dan terus dipalon.

 

 

Mengalami Diskriminasi di Sekolah

Icha yang seorang pejuang cerebral palsy membuatnya perlu menyiapkan kesabaran yang sangat ekstra. Sebab, masih banyak orang-orang yang belum memahami dengan baik kondisi penyakit yang dideritanya.

Icha dulu awalnya hanya bersekolah sampai kelas satu SMP pada semester satu. Icha pun sempat putus sekolah, karena memperoleh banyak tindakan diskriminasi dari pihak sekolah maupun guru-gurunya.

Bahkan, dulu saat Icha sedang Ujian Akhir Semester (UAS), dan Ujian Tengah Semester (UTS), nilainya sempat nol semua. Hal itu karena bukan karena tidak bisa menjawab soal, akan tetapi karena tulisannya jelek.

Ketika berusia 15 tahun, Icha kembali ke Jakarta untuk menjadi relawan disabilitas di berbagai kegiatan-kegiatan edukasi.

Saat menjadi relawan, Icha berperan sebagai Asisten Hubungan Masyarakat di sebuah panti di daerah Tangerang, disana ia tersadar bahwa masih banyak orang yang berkompetisi untuk memperjuangkan hidupnya.

Berawal dari situlah, Icha berpikir bahwa dirinya tidak boleh stagnan gini-gini aja, harus terus mengupgrade diri lagi. Alhasil, Icha bisa memperoleh ijazah kejar paket B yang setara dengan SMP dan menjadi relawan sambil sekolah kejar paket C.

Setelah, Icha mendapatkan ijazah kejar paket C. Ia nekat mendaftar kuliah di salah suatu universitas swasta di daerah Kebon Jeruk, Jakarta dengan mengambil jurusan Hubungan Masyarakat dan pada akhirnya ia pun bisa lulus di kampus tersebut.

Mendirikan Komunitas Jendela Cerebral Palsy

Pada tahun 2019 Icha berhasil mendirikan komunitas yang bernama Jendela Cerebral Palsy. Komunitas tersebut lahir karena dampak dari sikap-sikap diskriminasi yang kerap ditemui Icha saat berada di Tengah-tengah masyarakat.

Salah satu sikap diskriminasi yang pernah diterima oleh Icha ialah saat ia sedang bertugas menjadi relawan di salah satu daerah di Jakarta.

Ketika dirinya sepulang dari kegiatan dengan menggunakan kereta, seorang oknum penumpang yang duduk di sebelahnya melontarkan kata-kata diskriminasi terhadap Icha. Namun, Icha lantas cuek aja dan meredam emosinya.

Menurut Icha, masyarakat Indonesia membutuhkan edukasi terkait kondisi para pejuang cerebral palsy tersebut. Icha berharap, semua orang dapat menyamaratakan para penyandang disabilitas dan tidak memandang rendah mereka, tetapi harus dipandang sama seperti orang normal pada umumnya.

Berangkat dari rasa keprihatinan tersebut, lantas Icha bersama komunitas Jendela Celebral Palsy mengadakan kegiatan-kegiatan yang memiliki tujuan untuk mengedukasi masyarakat secara luas.

Seperti halnya, kegiatan #kawancerebralpalsy yang rutin diadakan setiap tanggal 5 Oktober, disana Icha mengajak seluruh masyarakat untuk berinteraksi secara langsung dengan pejuang cerebral palsy.

Pada akhirnya, Icha selalu mengeban sebuah motto hidup yang selalu dibawanya ke mana-mana, yaitu “ Hidup bukan haya bertahan hidup, tapi juga memberikan arti hidup, “ pungkas Icha.

Semoga kisah dari Aisyah Cahyu Chintya yang berhasil menjadi penulis dan lulus kuliah, meskipun seorang pejuang cerebral palsy tersebut bisa menjadi inspirasi bagi siswa-siswi Indonesia untuk terus berjuang mengejar cita-citanya. Congratulations, Icha! Kamu tahu kisah inspiratif lainnya dari siswa lainnya? Share di kolom komentar ya.