Skip to content

Kisah Pak Firman & Bu Awe: Berjuang Tiap Hari Lewati Medan Terjal, agar Pendidikan Anak Tidak Terjegal

Tanpa terasa sudah 77 tahun Indonesia merdeka. Walaupun sudah merdeka, tapi faktanya pahlawan tanpa tanda jasa yang turut berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa masih jauh dari kata sejahtera. Pahlawan tanpa tanda jasa itu adalah guru-guru honorer di pedalaman negeri kita tercinta Indonesia.

Dengan segala keterbatasan fasilitas dan akses yang ada, para guru honorer tetap ikhlas mengajar siswa-siswinya. Guru atau EDOOcator adalah seseorang yang besar jasanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tak terkecuali bagi guru-guru honorer yang tinggal di Desa Muara Kulam, Sumatera Selatan.

Kisah inspiratif dari dua sosok guru yang mengajar di sekolah SD Rompok Sungai Cinau, Kelurahan Muara Kulam, Kecamatan Ulu Rawas Kabupaten Musi Rawas Utara. Perjuangan dua sosok guru tersebut hingga berada di titik saat ini, dalam mendidik murid-muridnya tidak serta merta diraih dengan mudah begitu saja.

Perkenalkan dua sosok guru hebat tersebut ialah Pak Firman dan Bu Siti Hawa. Pak Firmansyah dan Bu Awe adalah sosok guru honorer asal pedalaman Sumatera Selatan. Setiap pergi ke sekolah, mereka harus melewati terjalnya medan dan jauhnya perjalanan.

Kisah Hidup Bu Awe, 19 Tahun Ngajar di Pelosok

Kisah pertama kita awali dari seorang guru honorer bernama Siti Hawa atau biasa murid-murid memanggilnya Bu Awe. Beliau adalah seorang single parent yang hidup dengan dua anaknya. Bu Awe merupakan seorang anak asli kelahiran Muara Kulam pada 04 Juni 1983. Beliau memulai pengabdiannya mengajar di SD rompok sungai Cinau sejak tahun 2003. Sudah terhitung 19 tahun beliau mendedikasikan diri mengabdi dengan gigih untuk mencerdaskan anak bangsa.

Selama ini, Bu Awe ketika berangkat mengajar ke sekolah selalu melewati terjalnya jalan, serta kondisi jalan licin dan curam berlumpur jika hujan. Dari rumah sampai ke sekolah Bu Awe harus menempuh jarak tempuh 5 sampai 6 km dengan motor tuanya yang sering mogok di pertengahan jalan. Setelah itu Bu Awe melanjutkan perjalanannya dengan menaiki rakit untuk menyebrangi sungai yang belum ada fasilitas jembatan. Bahkan terkadang murid-murid beliau juga ikut naik rakit bersama untuk menyebrang sungai. Perjalanan Bu Awe dari rumah sampai ke sekolah bisa diperkirakan memakan 1 jam lebih perjalanan.

Nahasnya, setelah dikendarai selama bertahun-tahun motor milik Bu Awe tidak bisa digunakkan lagi untuk melewati terjalnya medan karena rusak. Akhirnya sekarang Bu Awe harus berjalan kaki setiap hari untuk pergi ke sekolah. Terkadang Bu Awe menggunakan jasa ojek untuk mengantarnya ke sekolah, tetapi karena harus merogoh kocek lebih dalam dengan biaya 25.000 pulang-pergi. Hal tersebut tidak bisa beliau lakukan setiap hari mengingat harus menafkahi kedua anaknya sendiri.

Selain itu, sebenarnya Bu Awe bisa menggunakan perahu motor untuk menyebrangi sungai. Akan tetapi, Bu Awe tidak mampu membayar biaya ongkosnya yang terlalu mahal. Belum lagi kebutuhan dapur dan anak-anaknya juga harus dipenuhi.

Bekerja sebagai guru honorer merupakan cara Bu Awe untuk menafkahi keluarganya di rumah. Namun, karena gaji guru honorer hanya 850.000/bulan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya. Maka Bu Awe juga bekerja sampingan sebagai buruh tani demi kesejahteraan keluarga yang beliau tanggung sendiri di pundaknya.

Pak Firman Sosok Guru Tegar dari Pedalaman

Kisah kedua dari seorang guru tegar nan gigih berjuang mencerdaskan murid-muridnya. Beliau sering disapa Pak Firman. beliau menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Bukannya beliau mempunyai cita-cita untuk bekerja di kota, Pak Firmansyah memilih mengabdikan dirinya untuk mengajar 20 siswa sekolah dasar di pelosok Rompok Sungai Cinau, Desa Muara Kulam, Kecamatan Ulu Rawas, Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan.

Meskipun setiap harinya harus menempuh perjalanan sejauh 15 kilometer, menyusuri lebatnya hutan dan juga derasnya arus sungai, Pak Firmansyah tidak menyerah. Menjalani pekerjaan sebagai guru di pedalaman sudah 16 tahun Pak Firman jalani, sejak dirinya selesai menempuh pendidikan sarjana.

Menurut tutur Pak Firman menjadi guru di pedalaman merupakan penggilan jiwanya. Meskipun mengajar di pedalaman berat sekali dan banyak keterbatasan yang dihadapi. Tapi Pak Firman ingin semua siswa siswinya bisa pintar dan memperoleh hak yang sama yaitu pendidikan yang layak. Jika beliau tidak mengajar di pedalaman, lantas siapa yang akan mengajari mereka? Padahal mereka juga anak-anak yang punya cita-cita, tegasnya.

Bermodalkan sepeda motor yang sudah tua. Pak Firman setiap hari menempuh perjalanan panjang yang sulit yang tak sekalipun memadamkan semangat mengajarnya. Tidak jarang  motornya harus berhenti di tengah jalan karena rusak. Maklum saja, jalanan yang dilewati begitu licin dan terjal.

Jikalau sudah begitu, Pak Firman menaruh motornya di bahu jalan, lalu menyewa perahu warga agar bisa sampai di sekolah tempat beliau membagi ilmunya. Sekali perjalanan, beliau harus merogoh kocek sebesar Rp20.000. Namun sayangnya, karena motornya yang sering macet di jalan, Membuat Pak Firman sering terlambat datang ke sekolah.

Hikmah dari Kisah

Bu Awe dan Pak Firman  adalah sosok guru kebanggaan murid-muridnya. Tidak hanya karena kegigihan perjuangannya, tetapi kebaikan hati yang selalu berbagi kepada murid-muridnya.

Sayangnya, kehidupan Bu Awe dan Pak Firman masih jauh dari kata sejahtera dan makmur. Di tengah besarnya perjuangan mereka dalam mengabdi mencerdaskan putra-putri terbaik Indonesia. Setiap bulan, gaji yang mereka dapat jauh dari kata cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Semoga dukungan pada guru honorer di pedalaman terutamanya di daerah 3T menjadi lebih diproritaskan.

EDOOcator dan EDOOers, begitu besar perjuangan guru-guru honorer di pelosok pedalaman. Hikmah yang bisa kita ambil dari kisah Bu Awe dan Pak Firman adalah keikhlasaan dalam suatu kebaikan akan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan sekitar. Itulah kisah-kisah inspiratif dari dua guru yang bertugas di daerah pedalaman. Kamu tahu kisah inspiratif lain guru lainnya? Share di kolom komentar.