Skip to content

Bukan Ilmu Baru, Kenapa Harus Khawatir Dengan Vaksin Covid-19?

Teknologi vaksin bukan ilmu baru, bahkan fakta sejarah menunjukkan metodanya sudah digunakan di China 200 tahun Sebelum Masehi (SM). Saat ini, vaksin juga sudah digunakan di ranah baru, yaitu mencegah penyakit non-infeksi, seperti alergi dan kecanduan. Jadi, kenapa harus khawatir dengan vaksin Covid-19?

Setelah ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada akhir 2019, hingga 1 Oktober 2020, Covid-19 telah menewaskan 1,19 juta orang dari 219 negara, termasuk di antaranya 13.943 di Indonesia.

Perusahaan farmasi dan Pemerintah di sejumlah negara berusaha mempercepat uji klinis beberapa vaksin. Tujuannya agar ketika disuntikkan kepada masyarakat, vaksin aman dan bisa menghentikan penyebaran virus, serta tidak menimbulkan efek samping berbahaya.

Semoga uji klinis dapat segera berjalan dengan sukses, sehingga masyarakat dapat segera mendapatkan vaksin dan memiliki kekebalan tubuh ketika terinfeksi virus penyebab Covid-19. Apalagi, vaksin bukanlah teknologi baru, bahkan berdasarkan fakta sejarah sudah diterapkan sejak 200 tahun Sebelum Masehi (SM).

Berikut beberapa fakta sejarah dan perkembangan penggunaan vaksin untuk wabah penyakit di dunia, seperti dilansir dari laman resmi History of Vaccines.

  • Inokulasi di China dan India

Inokulasi alias kegiatan pemindahan mikroorganisme, seperti bakteri, jamur dan virus atau kombinasi dari produk biologi itu dari tempat asalnya ke medium baru dengan tingkat ketelitian dan strerilisasi sangat tinggi dengan cara dilemahkan. Hasilnya, akan masukkan ke dalam tubuh orang sehat untuk merangsang munculnya antibodi atau kekebalan tubuh dari serangan virus tersebut.

Data Perpustakaan Medis Sejarah dari Kolese Dokter Philadelphia, menunjukkan salah satu cara orang Tionghoa mempraktekkan inokulasi adalah dengan menggoreskan materi dari luka cacar ke lengan orang yang sehat.

Beberapa catatan sejarah, dari tahun 1500-an, China dan India telah melakukan inokulasi                          caar. Glynn dan Glynn, dalam The Life and Death of Smallpox, mencatat bahwa pada akhir 1600-an Kaisar K’ang Hsi, yang selamat dari cacar saat masih kecil, meminta anak-anaknya diinokulasi.

Metode itu melibatkan penggilingan koreng cacar dan meniup materi ke lubang hidung. Penyuntikan juga bisa dilakukan dengan cara menggaruk bahan dari luka cacar ke dalam kulit. Sulit untuk menentukan kapan praktik tersebut dimulai, karena beberapa sumber mengklaim tanggal tersebut di awal 200 SM.

Metode yang sama dilakukan di India sekitar tahun 1545an, ketika sekitar sekitar 8.000 anak meninggal di Goa, India, akibat wabah cacar yang kemungkinan besar disebarkan oleh pendatang dari Portugis. Cara ini dipraktikkan di Afrika dan Turki, sebelum menyebar ke Eropa dan Amerika.

  • Terobosan Edward Jenner

Meski seribuan tahun sebelumnya praktek inokulasi dan vaksin sudah banyak dilakukan, Edward Jenner seorang dokter bedah Inggris, dinilai memberikan terobosan baru dalam dunia vaksinasi pada tahun 1769. Edward Jenner menguji hipotesis bahwa infeksi cacar sapi dapat melindungi seseorang dari infeksi cacar.

Cacar sapi adalah penyakit yang tidak umum pada sapi, biasanya ringan, yang dapat ditularkan dari sapi ke manusia melalui luka pada sapi. Selama infeksi, pekerja susu mungkin memiliki pustula di tangan mereka. Penderita dapat menyebarkan infeksinya ke bagian tubuh lain.

Pada 14 Mei 1796, Jenner menyuntik James Phipps yang berusia delapan tahun dengan materi dari cacar sapi yang sakit di tangan gadis pemerah susu Sarah Nelmes. Phipps mengalami reaksi lokal dan merasa tidak enak selama beberapa hari tetapi sembuh total.

Pada Juli 1796, Jenner menyuntik Phipps dengan materi yang diambil dari luka cacar manusia baru, seolah-olah ia sedang memvariasikan anak laki-laki itu untuk menantang perlindungan dari cacar sapi. Phipps tetap sehat.

Jenner selanjutnya menunjukkan materi cacar sapi yang ditransfer dalam rantai manusia dari satu orang ke orang lain, memberikan perlindungan dari cacar. Metodenya mengalami perubahan medis dan teknologi selama 200 tahun berikutnya, dan akhirnya berhasil memberantas cacar.

  • Vaksin rabies Louis Pasteur

Tahun 1885, ilmuan Perancis, Louis Pasteur berhasil menguji coba penggunaan vaksin rabies pada manusia. Vaksin dimasukkan ke dalam rubuh Joseph Meister yang berusia 9 tahun setelah digigit anjing gila. Padahal, Pasteur belum pernah berhasil menggunakan vaksin pada manusia.

Menyuntik manusia dengan agen penyakit, bahkan yang sudah lemah, adalah tindakan baru dan kontroversial. Sementara itu, Pasteur bukanlah seorang dokter medis dan mungkin akan menghadapi konsekuensi serius jika Meister tidak selamat dari suntikan tersebut.

Pasteur merasa yakin bocah itu akan mati karena infeksi rabies, jika tidak berbuat apa-apa. Jadi dia memulai rangkaian 13 suntikan, satu setiap hari, vaksin yang dibuat dari jaringan sistem saraf kelinci. Setiap injeksi berturut-turut mengandung virus yang lebih lemah (lebih kuat). Meister tidak pernah mengidap rabies, dan insiden itu dianggap berhasil.

  • Penelitian Vaksin Mulai Aktif Dilakukan

Vaksin rabies Louis Pasteur tahun 1885 adalah yang berikutnya yang berdampak pada penyakit manusia. Kemudian, pada awal bakteriologi, perkembangan mengikuti dengan cepat. Antitoksin dan vaksin melawan difteri, tetanus, antraks, kolera, wabah penyakit, tifus, tuberkulosis, dan lainnya dikembangkan selama tahun 1930-an.

Di pertengahan abad ke-20 penelitian dan pengembangan vaksin mulai aktif dilakukan. Metode untuk menumbuhkan virus di laboratorium menghasilkan penemuan dan inovasi yang cepat, termasuk pembuatan vaksin untuk polio. Peneliti menargetkan penyakit anak umum lainnya, seperti campak, gondongan, rubella dan vaksin untuk penyakit ini sangat mengurangi beban penyakit.

  • Vaksin Mulai Berkembang Atasi Kecanduan dan Alergi

Teknologi vaksin sudah sangat berkembag. Vaksin tidak lagi hanya dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh dari sumber infeksi penyakit. Namun, sudah mulai diperluas untuk mengatasi masalah-masalah yang banyak terjadi di  masyarakat. Target penyakit yang ingin diatasi dengan vaksin telah berkembang ke arah yang baru, ke arah non-infeksi, yaitu alergi dan kecanduan. Semua fakta ini menunjukkan ilmu pengetahun terus berkembang, terutama di dunia kesehatan, termasuk vaksin yang sedang dinantikan untuk mengatasi wabah Covid-19 saat ini. *