Ketika kamu menghadapi sebuah masalah, bisa dipastikan kamu tidak selalu fokus pada masalah itu untuk mencari jalan keluarnya. Biasanya, pikiranmu akan merembet kemana-mana atau menyalahkan diri sendiri. Semua pikiran di luar masalah utama yang bersifat negatif ini disebut dengan pola pikir merusak alias destruktif.
Pola pikir destruktif ini harus dilawan karena dampaknya bisa lebih besar dari pada masalah yang sebenarnya. Mengutip buku Option B: Facing Adversity, Building Resilience and Finding Joy karya Sheryl Sandberg dan Adam Grand, Henry Manampiring dalam bukunya Filosofi Teras mengatakan ada tiga pola pikir destruktif yang menghambat manusia pulih dari musibah.
Tiga pola pikir itu disingkat dengan 3P, yaitu personalization, pervasiveness dan permanence. Berikut penjelasannya.
- Personalization
Jika kamu selalu menjadikan sebuah persoalan atau musibah sebagai kesalahan pribadi, maka kamu memiliki pola pikir personalization. Sebagai gambaran, untuk pola pikir seperti ini, jika ada seorang perempuan yang diselingkuhi pacaranya, biasanya dia akan menyalahkan diri sendiri. Ini semua terjadi karena dia kurang dandan, kurang cantik, kurang baik dan semua hal yang negatif soal dirinya.
Padahal semua ini salah besar, karena yang selingkuh adalah pacaranya alias si lelaki. Jadi yang salah sebenarnya adalah si lelaki dan si perempuan adalah korban. Tidak seharusnya korban justeru menyalahkan diri sendiri. Tidak semua masalah terjadi hanya karena diri kamu sendiri. Memang ada musibah yang terjadi akibat diri sendiri, misalnya mengendarai mobil atau sepeda motor dalam keadaan mabuk dan jatuh. Namun, banyak persoalan yang terjadi dalam diri kamu bukan karena salahmu.
2. Pervasiveness
Pervasiveness adalah pola pikir yang menganggap musibah di salah satu aspek hidup menjadi masalah di semua aspek hidup. Misalnya, kamu diselingkuhi. Jika kamu memiliki pola pikir pervasiveness, kamu akan langsung menyalahkan semua aspek hidupmu. Kamu akan bilang, memang aku tidak becus, pacaran saja diputuskan, sekolah juga tidak pernah bagus nilainya, banyak orang yang menjauhiku memang apes hidupku.
Padahal, masalah yang terjadi adalah salah satu aspek hidup, yaitu putus cinta. Pasti masih banyak kelebihan lain yang kamu miliki dan masih banyak orang yang menyukaimu. Pola pikir seperti ini bisa dikatakan lebay. Musibah atau kegagalan di satu aspek hidup, tidak otomatis berarti kegagalan di aspek hidup lain. Gagal di kegiatan akademis bukan berarti kamu gagal menjadi anak yang baik. Gagal di masalah percintaan bukan berarti gagal dalam pergaulan, dalam bekerja dan kegiatan lain.
3. Permanence
Permanence adalah pola pikir yang meyakini bahwa kegagalan sekali akan berdampak secara terus-menerus seumur hidup. Misalnya, jika menghadapi masalah diputuskan pacar, maka orang permanence akan mengatakan aku akan patah hati seumur hidup. Padahal, rasa sedih, galau dan kecewa yang dialami saat ini tidak otomatis masih akan dirasakan minggu depan, bulan depan dan tahun depan.
Memang ada kasus musibah menimbulkan luka psikologis yang lama efeknya, tetapi sebagian besar akan terasa lebih ringan seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, jika kamu berpikiran jernih dapat menerima keadaan dan mencari solusi yang tepat, masalah itu bisa hanya menjadi kenangan dan cerita berharga di dalam hidupmu yang menjadi motivasi untuk terus melakukan yang terbaik.
Dalam filsafat stoa atau stoisisme, kamu dinilai mampu dan harus dapat mengendalikan 3P sebagai persepsi terhadap musibah. Konsep 3P membantu mengidentifikasi apa yang perlu dihindari. Minimal dengan mengenali 3P, kamu bisa langsung mengendalikan pikiran agar tidak menyalahkan diri sendiri, tidak memebiarkan masalah merembet kemana-mana dan tidak mengganggap masalah saat ini akan kekal abadi selamanya. *