Skip to content

Mastini Hardjoprakoso: The Unsung Hero of Indonesian Library

Masih dalam rangka memperingati Hari Pahlawan Nasional EDOOers, ada seorang wanita yang menjadi Unsung Hero atau Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang jarang dibahas. Seseorang yang berjuang untuk kemajuan Indonesia di bidang perpustakaan dan pendidikan, yaitu Mastini Hardjoprakoso.

Mastini Hardjoprakoso, atau yang sejak kecil lebih dikenal dengan panggilan “tenok”, lahir di kota Mojogedang, Karanganyar, Jawa Tengah pada tanggal 7 Juli tahun 1923. Putri dari R.M.T. Hardjoprakoso, yang dulu menjabat sebagai bupati di Kerajaan Mangkunegoro, membuat beliau menghabiskan masa kecil dan menempuh pendidikan sekolahnya di Kota Solo bersama 7 saudara kandungnya.

Mungkin tak banyak dari kita mengetahui sosok beliau, tetapi perjuangan dan sumbangsihnya dalam kemajuan perpustakaan di Indonesia patut kita apresiasi. Mastini Hardjoprakoso adalah salah seorang tokoh dibalik berdirinya Perpustakaan Nasional dan tokoh perempuan di Gerakan Pramuka. Tercatat, beliau adalah Kepala Perpustakaan Nasional Pertama pada tahun 1980-1998.

Dilahirkan dari keluarga yang berdarah biru, Mastini Hardjoprakoso-selanjutnya disebut Mastini adalah cerminan sosok wanita yang lembut, sederhana namun memiliki kegigihan kuat dalam kehidupannya. Mastini bersekolah di HIS Siswoschool dan melanjutkan ke Mevrouv Groot School (Huishoudschool), yaitu sekolah yang didirikan oleh orang Belanda bagi anak-anak pribumi. Kebanyakan guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut adalah orang Belanda, mengantarkan Mastini kepada kemahirannya berbahasa asing yaitu Belanda dan Inggris, di samping bahasanya sehari-hari yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Jenjang pendidikan yang ditempuh Mastini selanjutnya adalah Frobel Kweekschool, Sekolah Guru Taman Kanak-kanak yang diselesaikannya hanya dalam kurun waktu 2 tahun. Setelah lulus, Mastini menjadi guru taman kanak kanak di lingkungan Mangkunegara dijalaninya dengan senang hati. Selain menjadi guru TK beliau aktif juga dalam organisasi Pandu Rakyat sejak tahun 1946. Pada saat Pandu rakyat dibubarkan dan berganti nama dengan menggunakan istilah pioneering atas usulan Bung Karno. Mastini bersama sahabatnya dari kalangan pandu, memperjuangkan penggunaan nama Pradja Muda Karana dan selanjutnya dikenal dengan istilah Pramuka sampai sekarang.

Tahun 1950, Mastini meninggalkan kota kelahirannya dan melanjutkan pekerjaannya sebagai guru TK di Angkatan Darat di sekitar Lapangan Banteng. Walaupun mencintai pekerjaannya, beliau tergugah juga untuk mencoba hal-hal baru dengan mencari pekerjaan lain. Melihat potensi dan kegigihan yang dimiliki Mastini mengantarkannya masuk ke suatu lembaga swasta Belanda yang saat ini disebut sebagai LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia).

Pekerjaannya di Lembaga Kebudayaan Indonesia membuka jalan terang Mastini untuk mulai belajar mengenai bagaimana pelayanan perpustakaan. Menurut beliau, perpustakaan adalah suatu ketekunan yang dapat meningkatkan potensi dalam diri generasi muda untuk menjadi lebih kreatif dan maju. Oleh sebab itu beliau mulai serius untuk menekuni lebih lanjut tentang bidang perpustakaan.

Di tahun 1955, Mastini memperoleh beasiswa untuk belajar kursus teknik perpustakaan di Nederlands Instituut voor Documentatie en Registratie (NIDR) di negara Belanda. Beasiswa tersebut diperolehnya dari Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking) berkat kepiawaiannya saat bekerja di LKI.

 

Setelah setahun belajar mengenai keilmuan perpustakaan di Belanda. Hal tersebut mematangkan pengetahuan beliau mengenai bidang perpustakaan. Selanjutnya membuat Mastini mendapat pengakuan baik dari pustakawan lainnya di Indonesia. Atas usulan dari Dekan Graduate School of Library dan anjuran dari Asia Foundation, Mastini memperoleh beasiswa keduanya pada tingkat master dalam ilmu perpustakaan di University of Hawaii. Mastini sangat bersyukur akan semua hal yang beliau peroleh tersebut, yang menurut beliau adalah sebuah nikmat yang sangat besar dari Tuhan YME.

Sekembalinya ke Indonesia, LKI tempat Mastini bekerja, berubah menjadi Museum Pusat yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perubahan Lembaga tersebut sekaligus membawa beliau menduduki jabatan sebagai kepala perpustakaan.

Ketika Mastini menjadi kepala Perpustakaan Museum Pusat, beliau menginisiasi diadakannya pameran surat kabar langka yang berumur ratusan tahun dan memiliki nilai historis tinggi. Pameran tersebut menampilkan surat kabar zaman Gubernur Daendels (1810), Pangeran Diponegoro (1925), Raffles (1812), berdirinya Boedi Utomo, Sumpah Pemuda hingga Proklamasi Kemerdekaan. Dapat dibayangkan kerja keras beliau yang di bantu stafnya yang penuh dedikasi dalam menyiapkan pameran besar dalam berbagai bahasa.

Singkat cerita, perjuangan gigih Mastini dalam memprakarasai berdirinya Perpustakaan Nasional Indonesia dimulai dari banyak audiensi dengan beberapa tokoh, mengikuti kongres, dan pengalamannya di negara-negara lain membuat beliau tambah prihatin dengan keadaan negara asalnya sendiri. Pendidikan yang sudah maju didukung dengan kemudahaan mendapatkan informasi di negara lain membuat beliau juga ingin mengimpelementasikan di Indonesia. Akhirnya Mastini membuat kertas kerja yang berjudul “The Need Of A National Library in Indonesia”.

 

Akhirnya, setelah melalui letihnya proses, manfaat dari tulisan kertas kerja tersebut membuahkan hasil yang sangat besar, yaitu lahirnya Perpustakaan Nasional Indonesia pada tanggal 17 Mei 1980. Jerih payah Mastini membuat Presiden Indonesia pada saat itu, sangat menghargai perjuangan Mastini. Ditambah lagi fakta tentang Mastini ikhlas untuk bekerja demi Indonesia, tanpa digaji. Beliau senantiasa mengasihkan uang tanggungan hidupnya kepada orang-orang yang kurang mampu.

Apabila ditanya apakah Mastini memegang peran penting terhadap kemajuan Negara Indonesia? Tanpa perlu menjawab “Iya”, sebuah Tanda Kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang beliau peroleh sudah cukup memastikan beliau termasuk Pahlawan bagi Indonesia. Dengan bekal keilmuan perpustakaan yang beliau dapatkan dari sekolahnya di Belanda dan Hawai, menumbuhkan ide cemerlang untuk memajukan pemuda-pemudi Indonesia dari aspek literasi. Beliau merupakan orang yang mendirikan Perpustakaan Nasional Indonesia.

Kontribusi mastini untuk dunia Perpustakaan di Indonesia tidaklah sedikit, melainkan sangat banyak. Selain dianggap sebagai panutan, beliau menerima beberapa penghargaan dan yang tertinggi adalah Bintang Mahaputra Utama pada tahun 1995, serta menerima penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka Lifetime Achievement dari Perpustakaan Nasional.

Tidak dapat diingkari bahwa sosoknya merupakan salah satu pahlawan yang berjuang dan memberikan sumbangsih nyata dalam kemajuan Perpustakaan di Indonesia dan jasanya tidak boleh dilupakan terutama oleh kita sebagai generasi penerus bangsa. Sosok Ibu Mastini Hardjoprakoso menyadarkan kita semua kerja keras, professionalitas, konsistensi dan disertai perilaku yang bersahaja dan merakyat diharapkan menjadi contoh konkrit bagi generasi millennial dan gen Z sekarang.

EDOOcator dan EDOOers, Itulah kisah inspiratif dari sosok wanita tangguh yang berjuang dan memberikan sumbangsing nyata demi kemajuan dunia perpustakaan di Indonesia . Kamu tahu kisah inspiratif dari tokoh-tokoh lainnya? Share di kolom komentar ya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *